Simbolis ataukah Nyata – Yang mana ?
<< Go Back


Simbolis ataukah Nyata — Yang Mana?

 

Hanya setelah pertanyaan ini dijawab dengan benar baharulah kita memiliki kunci — interpretasi yang benar — untuk membuka rumah perbendaharaan kebenaran simbolis yang besar ini. Dalam menyajikan masalah ini, logisnya marilah kita mulai pada permulaan pembicaraan Yahya mengenai khayal dari trompet-trompetnya itu.

Wahyu 8 : 7 berbunyi: “Maka malaikat yang pertama itu meniupkan trompetnya, lalu menyusul hujan batu dan api bercampur dengan darah, maka sekaliannya itu dicampakkan ke bumi: maka hanguslah sepertiga dari pada segala pohon kayu, dan semua rumput hijau hanguslah.”

Kita mengetahui, bahwa “api” yang sebenarnya, “hujan batu,” dan “darah” jika bercampur, maka hasilnya adalah hujan batu mencair karena api dan api membakar habis darah itu. Tetapi hasil ini ternyata tidak tampak setelah ketiga unsur itu bercampur, yaitu “hujan batu” dan “api” dan “darah” pada saat trompet yang pertama berbunyi. Oleh karena itu, maka tak dapat tiada sekaliannya itu harus diinterpretasikan secara simbolis. Dan kesimpulan ini dikuatkan oleh kenyataan, bahwa api itu membakar habis semua “rumput hijau,” dan hanya “sepertiga bagian” dari pada “pohon-pohon kayu” yang terbakar. Keadaan yang tidak alamiah ini memberikan kesimpulan, bahwa rumput-rumput kering yang lebih mudah terbakar adalah justru tidak terganggu, sebab jika tidak demikian tentu tidak akan disebutkan jenis rumput yang dimakan oleh api itu. Tetapi karena adalah bertentangan dengan alam, karena rumput kering tidak terbakar dalam pembakaran rumput-rumput hijau itu, maka itulah sebabnya “rumput hijau” dan “pohon-pohon kayu” itu tak dapat tiada melambangkan sesuatu yang hidup dan yang mudah terluka, sebaliknya yang kering itu tidak.

Dan akhirnya, sebagai bukti dalam “takaran yang tepat, dipadatkan……, dan digoncang-goncang sampai tumpah” (Lukas 6 : 38), bahwa trompet-trompet itu adalah simbolis, kami mengundang perhatian anda kepada peristiwa-peristiwa utama yang akan jadi dalam kaitannya dengan beberapa trompet yang lainnya.

Pada peniupan trompet yang kedua, maka sebuah “gunung” besar, yang bagaikan sedang terbakar dengan api, “telah dicampakkan ke dalam laut.” Kalau bukan “gunung” itu merupakan lambang, maka sesudah ia itu dicampakkan ke dalam “Iaut,” ombak-ombak tentunya sudah akan memadamkan api itu, atau api itu sudah akan merubah air menjadi asap tebal. Tetapi walaupun demikian ternyata sebaliknya, sebagian dari laut itu telah menjadi “darah” — suatu keadaan yang sama sekali tidak masuk akal, dan juga tidak pernah ada dalam sejarah.

Jadi, jelaslah, bahwa “gunung” itu, “api”, “kapal-kapal”, “makhluk-makhluk”, dan “kehidupan” yang mereka miliki, masing-masingnya adalah lambang. Tak dapat tiada demikian pula halnya dengan laut, karena hanya “makhluk-makhluk” itulah yang ada di dalam “laut”. dan yang “bernyawa” yang “mati”, menunjukkan bahwa masih ada yang Iainnya yang tidak bernyawa, tetapi masih terus hidup. Jika sekiranya makhluk-makhluk itu bukan merupakan simbol, maka terlalu berlebihan untuk dikatakan, bahwa sekalian itu yang “bernyawa” “mati.” Sebab jika mereka itu tidak bernyawa, maka bagaimanakah mungkin mereka itu mati? Apalagi sebuah lautan secara alami adalah tidak pernah diam, tetapi senantiasa berombak. Dengan begitu, jika “Iaut” ini adalah lautan yang sebenarnya, maka tidaklah mungkin dapat menentukan batas “darah” itu dalam batas-batas dari “sepertiga bagian dari laut itu”.

Kalau saja “bintang” itu yang pada peniupan trompet yang ketiga, “telah jatuh menimpa sepertiga bagian dari sungai-sungai, dan menimpa mata-mata air,” bukan berupa simbol, melainkan yang sebenarnya, maka ia itu sudah akan menggetarkan bumi dari peredarannya serta menghancurkannya.

Pada peniupan trompet dari malaikat yang keempat itu, “sepertiga bagian” dari “matahari”. “bulan,” dan “bintang-bintang” telah “dipalu.” Sungguhpun demikian karena tidak mungkin untuk memalu benda-benda langit itu, maka sekaliannya itu yang tercatat di sini sebagai “dipalu” adalah jelas simbolis. Ini telah dijelaskan dua kali dalam terang pengetahuan, bahwa kalaupun sekaliannya itu benar-benar terjadi, dan satu bagian dari sekaliannya itu benar-benar dipalu, maka dua bagian dari padanya yang masih tinggal yang tidak dipalu itu masih akan memancarkan cahaya yang lebih dari cukup untuk menghalangi kegelapan.

Keluar dari “asap” itu yang pada peniupan trompet yang kelima, telah naik dari “Iobang yang tak terduga dalamnya” itu, telah datang “belalang-belalang” yang mentakjubkan, yang belum pernah ada seperti itu. Oleh karena itu maka belalang-belalang itu, “asap”, dan “Iobang”, tak dapat tiada melambangkan juga sesuatu yang lain. Dan lagipula karena kata pengganti (personal pronoun) “he” (dia laki-laki) telah digunakan kepada “bintang” itu, maka tak dapat tiada bintang itu melambangkan seseorang lelaki (a male person).

Karena seekor kuda seperti yang terdapat dalam trompet yang ke enam itu memiliki suatu ekor yang terdiri dari ular-ular, sebuah kepala singa, dan suatu mulut yang menyemburkan api, asap, dan belerang — alangkah ganjilnya dan sama sekali tidak mungkin! Oleh sebab itu kombinasi-kombinasi yang aneh dan tidak alamiah ini mengungkapkan, bahwa kebenaran dari tujuh trompet itu akan kelak dibuka hanya dengan kunci interpretasi simbolis, dan bahwa kemudian Alkitab sendiri yang harus menjelaskan

 

 

 37 total,  1 views today

 

<< Go Back

Start typing and press Enter to search

Shopping Cart