TEROMPET YANG PERTAMA – Wahyu 8 : 7
<< Go Back


Trompet Yang Pertama
 
Wahyu 8 : 7

A y a t  7 : “Maka malaikat yang pertama itu meniupkan trompetnya, lalu turunlah hujan batu es dan api bercampur darah, maka sekaliannya itu dicurahkan ke bumi; maka hanguslah sepertiga bagian dari pohon-pohon kayu, dan hanguslah s e m u a rumput hijau.”

Karena trompet-trompet itu secara simbolis mencatat kebinasaan orang-orang jahat setelah penolakan mereka terhadap pekabaran-pekabaran Allah yang disampaikan kepada mereka, dan karena angka bilangan “tujuh” yang menunjukkan kelengkapan itu adalah meliputi keseluruhan periode masa kasihan dan seterusnya sampai kepada kedatangan Kristus yang kedua kali, maka peniupan trompet yang pertama tak dapat tiada harus dicari jauh ke belakang dalam sejarah sebagai pembinasaan yang pertama terhadap sejumlah besar orang-orang jahat, sebagai akibat dari penolakan mereka terhadap pekabaran Allah yang disampaikan kepada mereka. Dan karena air bah merupakan pembinasaan sedemikian ini yang pertama, maka jelaslah trompet yang pertama sebagaimana ia itu muncul terbuka di depan pehukuman itu, mengungkapkan hotbah-hotbah dari Nuh, tujuannya dalam membangun bahtera, dan alasan Allah membanjiri dunia tua yang lalu dengan air bah.

Kini dengan mengemukakan alasan sebagai pembicara bagi simbol itu, agar ia itu dapat berbicara bagi dirinya sendiri, maka ia itu menceritakan kepada kita bahwa “hujan batu es dan api yang bercampur dengan darah itu” dan “tercampak ke atas bumi,” menunjukkan sesuatu yang tak dapat tiada berasal dari luar bumi itu sendiri. Sebab jika tidak demikian tidak mungkin ia itu disebut bahwa “sekaliannya itu dicampakkan ke atas bumi.” Ketiga unsur itu (hujan batu es, api, dan darah itu), melambangkan sesuatu yang terdiri dari tiga bagian, dan karena tidak dibatasi oleh sesuatu bagian atau bagian-bagian tertentu dari “bumi ini”, maka oleh karenanya ia itu “tercampak” ke seluruh bumi.
   
Kini sambil terus memahami simbol itu sebagaimana yang telah digariskan sendiri pada dasarnya sedemikian itu, maka siswa penyelidik akan dapat melihat sementara ia terus maju, bahwa masalahnya itu bukan saja menjadi makin jelas, kebenaran yang satu berkaitan dengan kebenaran yang lainnya, sehingga semuanya lebih menguatkan keseluruhannya, melainkan juga bahwa ia itu mengandung suatu pelajaran kebenaran sekarang yang menggemparkan. Karena hal inilah, maka ia akan dapat mengetahui, bahwa saat yang ditentukan sorga bagi terungkapnya trompet-trompet itu telah tiba, dengan membawakan kebenaran pada waktunya yang dikemukakan di sini.

Kemudian sementara ia terus maju dalam terang dari kenyataan ini, untuk mencari tahu arti dari pada “api” itu (api diambil duluan karena inilah yang paling dikenal dari ketiga unsur yang dimaksud itu), maka ia akan dibimbing oleh kenyataan rangkap tiga, bahwa kehadiran Allah di dalam “semak belukar” telah dinyatakan kepada Musa oleh suatu nyala api (Keluaran 3 : 2; 19 : 18); bahwa Tuhan mempersamakan Firman-Nya dengan suatu api (Yeremiah 23 : 29); dan bahwa pada hari Pantekosta Rohulkudus telah terlihat bagaikan “Iidah-lidah yang seperti api.” (Kisah Rasul-Rasul 2 : 3).

Oleh kenyataan dari ketiga kejadian ini, maka tercampaknya api ke atas bumi itu terlihat merupakan simbol dari turunnya Rohulkudus bersama-sama dengan firman Kebenaran, dalam mana terdapat Bapa dan Anak, yaitu karena Bapa ada di dalam Anak (Yahya 14 : 9). Dengan demikian melalui Roh, Yang pengaruhnya dimana-mana tidak dapat dibatasi itu, maka Tuhan kita “telah pergi dan berhotbah” kepada seluruh penduduk bumi sebelum datang air bah itu. Melalui Dia, juga, maka Tuhan kita telah “dibangkitkan.” (1 Petrus 3 : 18, 19, 20).

Selanjutnya, sebagaimana Firman menyatakan, bahwa “nyawa dari daging itu terdapat di dalam darah” (Immamat 17 : 11), maka sebab itu “darah” terlihat melambangkan kehidupan dari mahluk hidup.

Dan pertanyaan sederhana yang dikemukakan Allah kepada Ayub: “Sudahkah engkau melihat penyimpanan hujan batu es yang telah Ku simpan bagi masa kesusahan itu?” (Ayub 38 : 22, 23), mengungkapkan, bahwa “hujan batu” itu adalah melambangkan kebinasaan. Dan hujan batu itu merupakan air yang membeku menunjukkan suatu kebinasaan oleh air — air bah, yang tidak mungkin dapat dilambangkan oleh air dalam bentuknya yang cair, karena air yang cair adalah melambangkan “kehidupan” atau “bangsa-bangsa.” (Lihat Yahya 4 : 14 dan Wahyu 17 : 15). Oleh sebab itu, maka hujan air beku adalah satu-satunya unsur yang dapat secara tepat melambangkan suatu kebinasaan oleh air.

Demikianlah oleh ketiga unsur ini (hujan air beku, api, dan darah) secara simbolis telah dilukiskan pekabaran yang dihotbahkan oleh Nuh: yaitu, kebinasaan oleh air (hujan air beku); pembangunan bahtera untuk menyelamatkan mahluk hidup (darah); dan kuasa dari Roh Kebenaran (api), dengan mana pekabaran itu telah dibawa dan diberitakan. Untuk mengucapkan kenyataan-kenyataan itu dalam lain perkataan, maka Roh kebenaran (api) dalam pekabaran Nuh itu telah menyediakan bahtera itu untuk menyelamatkan nyawa (darah) dari semua orang yang telah mendengar suara-Nya lalu memasuki bahtera itu. Walaupun demikian, kepada semua orang yang tidak mematuhi suara-Nya dan tidak mau memasuki bahtera itu, pekabaran itu membawa kebinasaan oleh air bah (hujan batu es) kepada mereka.

Setelah Nuh mengetahui, bahwa tugasnya yang dikaruniakan Allah kepadanya telah selesai karena orang jahat yang banyak itu telah “meremehkan, menentang, mentertawakan, dan menolak” pekabarannya, maka ia dan keluarganya lalu masuk ke dalam bahtera. Kemudian datang air bah, dan kemudian semua orang yang tidak mencari perlindungan pada bahtera itu dihanyutkan oleh derasnya air-air itu.

Demikianlah keadaannya, bahwa semua korban dari air bah itu dilambangkan oleh sepertiga bagian dari “pohon-pohon kayu” dan oleh “rumput-rumput hijau” (ayat 7) yang telah terbakar habis (binasa oleh kuasa Roh terhadap Siapa mereka telah berdosa), dan yang memisahkan kedua kelas orang banyak itu.

Tetapi mengapakah disebut “terbakar” dan bukan “tenggelam”? Janganlah lupa, bahwa kita di sini sedang mempelajari kebenaran dengan bantuan simbol-simbol. Perbuatan kebinasaan yang ditunjukkan oleh perkataan “tenggelam” adalah keadaan yang sebenarnya dan bukan simbolis; maka jika itu yang dipakai akan mengacaukan kunci interpretasinya, sebab jika setiap sebutan adalah bukan simbolis; maka bagaimanakah kelak kita membedakan sebutan-sebutan yang simbolis dari pada sebutan-sebutan yang tidak simbolis? Dan bagaimanakah dapat kita mengetahui apa yang dapat digunakan untuk menggariskan kebenaran? Perkataan “tenggelam” secara simbolis tidak akan berarti binasa, melainkan sebaliknya berarti terbenam dalam kehidupan — berada di antara massa orang banyak (Wahyu 17 : 15).

Dan karena “api” adalah melambangkan Roh Kebenaran, maka sebab itu jelaslah, bahwa mereka yang berdosa melawanNya oleh menolak pekabaran dari Nuh, secara simbolis mereka “dibakar”, dan karena itulah orang-orang jahat memikul pembalasanNya (“api”) karena mereka berdosa melawan Dia.

Gambarannya sebagai berikut: andaikata seseorang terlibat membunuh dan ia dipersalahkan oleh hukum yang menuntut kepadanya hukuman mati, maka nyawanya akan diambil oleh sesuatu alat yang mematikan. Tetapi apakah kejahatan itu, ataukah pelaksanaan hukuman itu, yang menjadi s e b a b kematiannya? — Tentu saja kejahatannya itulah yang menyebabkan kematiannya; karena jika yang tertuduh itu didapati tidak bersalah, maka hukum tidak mungkin dapat mengenakan hukuman mati itu. Demikian pula halnya dengan orang-orang di zaman air bah itu. Mereka itu bukan binasa karena air bah yang datang, karena siapa saja yang mau, mereka sudah dapat masuk ke dalam bahtera. Sesungguhnya kalau saja mereka semuanya sudah bertobat, dengan sendirinya mereka sudah dapat membuat Allah membatalkan air bah itu. Tetapi mereka ternyata telah terlibat dosa yang tak dapat diampuni lagi melawan Rohulkudus, yaitu menolak pekabaran dari Nuh, mereka menolak masuk ke dalam bahtera — suatu dosa yang telah membawa ke atas mereka hukuman dari hukum ilahi (air bah ltu).

Bahwa “rumput-rumput hijau” dan “pohon-pohon kayu” melambangkan dua kelas orang-orang hidup, dapat segera terlihat dari mimpinya Nebukhadnezar dalam mana ia telah menyaksikan dirinya dipersamakan dengan sebatang “pohon kayu”, dan rakyat kerajaannya dipersamakan dengan “rerumputan yang lemah di padang.” (Daniel 4 : 10, 14, 15, 20, 22; Yesaya 40 : 6, 7). Dan Yesus, dalam membicarakan orang-orang yang menduduki jabatan-jabatan yang bertanggung jawab, mengatakan bahwa “setiap pohon kayu yang tidak mengeluarkan buah yang baik akan ditebang, dan dibuang ke dalam api.” (Matius 3 : 10). Jadi jelaslah, bahwa orang-orang biasa yang dibinasakan oleh air bah itu telah dilambangkan dengan “rumput hijau”, dan para pemimpin mereka dilambangkan oleh sepertiga bagian dari “pohon-pohon kayu” itu. Catatan itu berbunyi: “Maka setiap makhluk hidup di atas muka bumi, baik manusia maupun ternak, baik binatang-binatang melata, maupun unggas di udara telah binasa; dan sekaliannya itu telah dibinasakan dari bumi; dan hanya Nuh yang tinggal hidup bersama-sama dengan mereka yang ada di dalam bahtera itu.” (Kejadian 7 : 23).

Karena hanya sepertiga bagian yang hangus terbakar, maka ini memberi kesimpulan bahwa dua pertiga bagiannya luput, sehingga tak dapat tiada kita akan percaya bahwa dua kali sebanyak mereka yang binasa itulah yang luput, bukan? Dan karena hanya ada delapan orang yang selamat, maka hendakkah kita menyimpulkan, bahwa hanya empat jiwa (pohon-pohon kayu) yang binasa?

Penyimpulan-penyimpulan yang sedemikian ini dicapai hanya karena mengesampingkan tata cara prosedur interpretasi. Ingatlah selalu, bahwa kita sedang mempelajari peristiwa-peristiwa nubuatan oleh perantaraan simbol-simbol. Jangan sekali pikiran dialihkan dari satu demi satu sebutan simbolis kepada satu demi satu sebutan yang sebenarnya terhadap mereka yang binasa dan mereka yang luput itu.

Dengan menemukan penjelasan yang rinci dalam “sepertiga bagian dari bintang-bintang di langit” (Wahyu 12 : 4) – yaitu malaikat-malaikat jahat yang telah disesatkan oleh Setan bersama-sama dengan dirinya, — “sepertiga bagian dari pohon-pohon kayu itu” terlihat menunjuk kepada para pemimpin dunia yang jahat yang hidup pada sebelum air bah yang lalu. Kedua bagian dari bintang-bintang itu, atau malaikat-malaikat, yang masih tinggal di dalam sorga adalah malaikat-malaikat yang benar. Sama halnya, bahwa dua bagian dari “pohon-pohon itu” yang tidak hangus terbakar adalah melambangkan orang-orang benar yang luput dari bencana air bah itu. Andaikata Ilham menyebutkan bahwa dua pertiga bagiannya hangus terbakar dan sepertiga bagiannya yang tinggal, dan bukan sebaliknya, maka sebutan itu secara simbolis sudah akan salah, sebab suatu lambang “sepertiga” dalam trompet-trompet selalu berarti yang jahat tanpa terikat kepada angka bilangannya.

Mengapa semua orang yang berada di dalam bahtera itu dilambangkan dengan pohon-pohon kayu? Mengapa tidak dilambangkan dengan rumput? Sebab diperbandingkan dengan pohon-pohon kayu, rumput tidak memiliki sifat-sifat yang cocok, seperti misalnya mengenai tinggi badan, kekokohan, stabilitas, dan kehidupan yang panjang. Jadi sesuai dengan itu baik secara akal sehat maupun secara Firman rumput tidak mungkin dapat melambangkan orang-orang yang ada di dalam bahtera itu sebagai leluhur-leluhur dari semua bangsa yang hidup sesudah air bah itu.

Jadi, sebagaimana di dalam hanya satu ayat Alkitab yang singkat seluruh sejarah air bah itu telah diceriterakan maka akan terlihat dalam simbol dari trompet yang pertama, bukan saja suatu penyederhanaan dan ketepatan yang mentakjubkan dalam menceriterakan masa lalu, melainkan juga suatu penghematan waktu dan penghematan bahan tulis yang besar. Bahan tulis adalah merupakan barang dagangan yang pada zaman itu sangat tinggi harganya. Maka hikmah pengetahuan yang sama yang sangat tinggi ini pun terus berlanjut, diikuti dengan

 

 76 total,  1 views today

 

<< Go Back

Start typing and press Enter to search

Shopping Cart